Rabu, 19 Desember 2012

Kajian Tarjih (3) :



Metode Tafsir Tahliliy
Dari segi bahasa, kata tahlil (تحليل) berasal dari kata hallala – yuhallilu (جلل - يحلل) yang berarti menjelaskan dan menganalisis.[1] Sedangkan dari segi istilah (terminologi), tafsir tahliliy adalah metode tefsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspek dengan memperhatikan urutan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam mushaf al-Qur`an.[2]

Menurut pakar tafsir dari Universitas al-Azhar, Abdul Hayy al-Farmawi, metode tafsir tahliliy adalah metode yang menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al Quran dari berbagai segi, baik dari segi kosakata, kandungan makna, balaghah, asbab nuzul, munasa­bah maupun segi lain yang berkaitan dengen teks dan makna al-Qur`an dengan memperhatikan urutan atau susunan ayat-ayat dalam mushaf al-Qur`an.[3] Pada metode tahliliy ini biasanya diuraikan makna yang dikandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya di dalam mushhaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat (asbab al-nuzul), kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum mau­pun sesudahnya (munasabah), dan penda­pat-pendapat yang telah sudah ada yang berkaitan dengan taf­sir ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi'in maupun ahli tafsir lainnya.[4]  Karena aspek-aspek yang dikaji cukup beragam, maka tafsir ini dianggap memiliki kelebihan dengan kekayaan ide yang ada di dalamnya. Namun di samping itu, metode ini juga dianggap memiliki kekurangan karena acapkali tidak menyelesaikan satu pokok bahasan secara utuh.[5]
Jika dilihat dari sejarah perkembangan tafsir, dapat dinyatakan bahwa metode tahliliy ini merupakan metode tafsir yang paling awal yang pernah ditulis dan dibukukan. Jika dilihat buku-buku tafsir awal, pada umumnya tafsir-tafsir itu menggunakan metode tahliliy, seperti dapat dilihat di buku Tafsir al-Thabariy karya Ibn Jarir al-Thabariy atau buku Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh & Rasyid Ridha, atau Tafsir fi Zhilal al-Qur`an karya Sayyid Qutub. Buku-buku tafsir tersebut seluruhnya menggunakan metode tafsir tahliliy.
Sebagaimana metode tafsir mawdhu’iy, metode tafsir tahliliy juga memiliki keistimewaan dan kelemahan. Di antara kelebihan metode tafsir tahliliy adalah sebagai berikut:
1.      Pada metode tafsir tahliliy, penafsiran suatu ayat atau suatu surah dapat lebih mudah ditelusuri, karena metode tahliliy ini biasanya menafsirkan ayat dan surah al-Qur`an sesuai dengan urutannya dalam mushaf al-Qur`an;
2.      Metode tafsir tahliliy dapat mengungkap dengan lebih luas berbagai segi yang tercakup dalam ayat-ayat al-Qur`an, seperti segi keindahan bahasa, munasabah, sasaran yang dituju oleh ayat, dsb, dan pada tafsir tahliliy ini biasanya terkandung banyak aspek ilmu pengetahuan.
Sedangkan kelemahan metode tafsir tahliliy ini, antara lain:
1.      Penggunaan metode tahliliy ini mengandung resiko untuk menafsirkan al-Qur`an secara parsial atau sepotong-potong atau parsial dan mengandung resiko lahirnya penafsiran yang subjektif;
2.      Penggunaan metode ini menimbulkan kesan adanya penafsiran yang berulang, terutama pada ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki tema yang sama.
Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang perbedaan antara tafsir mawdhu’iy dan tafsir tahliliy, di sini dikemukakan perbandingan ringkas antara metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir tahliliy sebagai berikut:
1.   Tafsir mawdhu’iy tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, sedangkan tafsir tahliliy memperhatikan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf al-Qur`an;
2.   Tafsir maudlu'iy tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkan. Sebaliknya, tatsir tahliliy berusaha untuk berbicara inenyangkut sejumlah hal yang ditemukan pada setiap ayat;
3 Mufassir pada metode tafsir mawdhu’iy berupaya untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang merupakan pokok bahasannya, sementara mufassir pada metode tafsir tahliliy pada umumnya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri sehingga permasalahan yang dibahas sering tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan sering ditemukan kaitannya pada ayat lain atau pada surah lain.
A.    Penutup
Dalam menafsirkan al-Qur`an terdapat sejumlah metode yang masing-masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang ada pada suatu metode tidak harus menyisihkan metode yang lain, karena keunggulan suatu metode tidak mesti membuat metede lain harus tersisih. Metode-metode yang ada hendaknya diupayakan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa, meskipun masih terdapat beberapa problema pada metode tafsir, namun secara umum dapat dinyatakan bahwa metode tafsir mawdhu’iy memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan dengan metode tafsir tahliliy. Keunggulan yang ada pada metode tafsir mawdhu’iy tidak harus menyisihkan metode tahliliy, karena keunggulan suatu metode tidak mesti membuat metede lain harus tersisih.. Metode-metode yang ada hendaknya diupayakan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Problema-problema yang ada pada metode mawdhu’iy juga tidak mesti membuat metode ini diabaikan atau dipandang sebelah mata. Adalah kewajiban para pecinta dan pengasuh al-Qur'an untuk mengupayakan pagar-pagar metodologis atau aturan-aturan main yang tepat agar subjektivitas yang mungkin saja masih terdapat pada tafsir al-Qur'an, baik menggunakan metode mawdhu’iy maupun menggunakan metode yang lain, dapat dikurangi atau, kalau mungkin, dihilangkan. Masih sangat dibutuhkan upaya dari para pakar dan pecinta al-Qur'an untuk lebih mengembangkan metode-metode tafsir ini untuk agar umat Islam dapat lebih mampu memahami makna-maknya yang terkandung pada pesan-pesan ilahi dalam al-Qur`an.


[1] Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, him. 194
[2] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Mizan, Bandung, 1992, him. 86.
[3] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy, Dar al-Kutub, him. 51.
[4] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 31
[5] Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar