Tafsir Mawdhu’iy
Dari segi bahasa
atau etimologi, kata mawdhu’ berasal dari kata wadha 'a (وضع) yang berarti, antara
lain, meletakkan sesuatu pada suatu tempat. Sedangkan kata mawdhu' (موضوع) berarti tema
atau topik.[1]
Dari segi terminologi, terdapat beberapa definisi atau pengertian tafsir
mawdluiy yang diberikan oleh ulama. Musthafa Muslim mengemukakan beberapa
pengertian tafsir mawdhu’iy, antara lain
sebagai berikut:
1.
Tafsir mawdhu’iy adalah uraian tentang suatu topik mengenai
kehidupan pemikiran (al-hayah al-fikriyyah), atau kemasyarakatan atau
alam semesta yang ditinjau dan sudut pandang al-Qur'an untuk diketahui
pandangan al-Qur'an tentang topik itu. ;
2.
Menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang bertebaran pada berbagai surah
yang berkenaan dengan satu topik yang sama, baik secara lafaz atau hukum, dan
menafsirkannya sesuai dengan maksud-maksud al-Qur'an.
3.
Ilmu yang membahas berbagai permasalahan sesuai dengan
tujuan-tujuan al-Qur'an yang terdapat pada satu surah atau lebih.4
Musthafa
Muslim memandang bahwa definisi yang terakhir lebih tepat karena di dalamnya
tidak terdapat pengulangan kata-kata dan definisi itu telah mencakup dua bentuk
tafsir mawdhu’iy. Sedangkan definisi-definisi dari nomor 1 hingga nomor
empat, menurut Musthafa Muslim, lebih merupakan penjelasan tentang metode
pembahasan pada tafsir mawdhu’iy.[2]
Untuk
definisi nomor terakhir yang dipilih oleh Musthafa Muslim itu mungkin dapat
diberikan sedikit catatan. Dalam definisi itu terdapat kata ilmu ('ilm) yang
menyiratkan seakan-akan tafsir mawdhu’iy sudah menjadi ilmu yang berdiri
sendiri yang lepas dari ilmu tafsir. Dalam pandangan penulis, tafsir mawdhu’iy
belum merupakan suatu ilmu, tapi masih merupakan metode dari sejumlah metode
tafsir yang masuk dalam pembahasan ilmu tafsir. Sehubungan dengan itu, kata ilmu
dalam definisi itu mungkin lebih tepat diganti dengan kata metode.
Metode
ini dinamakan metode tafsir mawdhu’iy atau metode tafsir tematik karena
metode ini memilih sejumlah ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan tema (mawdhu’)
tertentu. Dengan metode ini mufassir menafsirkan al-Qur'an dengan
membahas suatu tema untuk dikembalikan kepada al-Qur'an. Dalam metode ini mufassir
seolah-olah berdialog dengan al-Qur'an tentang suatu tema dan seakan-akan
mengajak atau membiarkan al-Qur'an untuk berbicara sendiri tentang terra yang
akan dibahas.
Metode ini mempunyai dua bentuk. Bentuk pertama,
penafsiran dengan mengambil satu surah dari antara surah-surah al-Qur'an
yang berjumlah 114. Surah itu dikaji secara keseluruhan dari awal hingga akhir.
Setelah itu dijelaskan tujuan-tujuan khusus dan tujuan-tujuan umum dari surah
itu dan dihubungkan tema-tema yang ditemukan pada ayat-ayat yang terdapat dalam
surah, sehingga surah itu tampak jelas sebagai satu kesatuan yang utuh.[3]
Bentuk pertama yang menghimpun pesan-pesan
al-Qur'an yang terdapat dalam satu surah saja ternyata belum menuntaskan
persoalan, karena tidak jarang tema atau pesan yang terdapat pada satu surah
ternyata berkaitan erat dengan pesan al-Qur' an yang terdapat .pada surah
yang lain.
Bentuk kedua adalah penafsiran dengan
cara menghimpun sejumlah ayat dari beberapa surah yang membicarakan satu
masalah tertentu. Ayat-ayat yang dihimpun itu kemudian disusun sedemikian rupa
dan diletakkan di bawah sate tema bahasan dan ditafsirkan secara tematik.
Bentuk kedua inilah yang dimaksudkan dengan pembicaraan tentang tafsir mawdhu’iy
dalam tulisan ini.
lstilah tafsir mawdhu’iy
baru dikenal pada abad keempat belas hijrah. Meskipun istilah ini baru dikenal
pada abad keempat belas, cikal bakal tafsir mawdhu’iy sudah ada sejak
masa Rasulullah. Ini dapat dilihat, misalnya, dari penafsiran Rasulullah
terhadap kata zhulm yang terdapat pada surah al-An'am: 82 yang berbunyi :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ [٦:٨٢]
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk
Nabi
menafsirkan kata zhulm ini dengan makna syirk dengan mengacu
kepada surah Luqman: 13 yang berbunyi:[4]
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ [٣١:١٣]
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
Dengan
penafsiran seperti ini Nabi Muhammad telah memberikan contoh tentang penafsiran
ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an yang lain yang merupakan inti metode
tafsir mawdhu’iy. Ini menunjukkan bahwa benih tafsir mawdhu’iy
telah tertanam sejak masa awal perkembangan Islam.
Kajian tematik juga mengambil bentuk kajian
kebahasaan, seperti yang dilakukan oleh al-Raghib al-Ashfahani yang rnenyusun
kitab a1-Mufradat fi Gharib al-Qur 'an. Di samping itu terdapat
juga ulama yang menghimpun ayat-ayat yang dapat digolongkan ke dalam tema
tertentu, seperti kitab al-Nasikh wa a/-Mansukh yang disusun oleh Abu
`Ubaid al-Qasim lbn Salam (w. 224 H.), Ahkam al-Qur'an yang disusun oleh
al-Jashshash al-Hanafi (w. 370 H) dan kitab Ta`wil Musykil al-Qur'an yang
disusun oleh Ibn Qutaybah (w. 276 H).
Terdapat juga karya-karya lain yang menghimpun
ayat-ayat yang tercakup dalam judul kitab, seperti Amtsal al-Qur 'an karya
al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur'an karya al-Izz Ibn Abd
al-salam (w. 660 H) dan Aqsam al-Qur'an karya Ibn al-Qayyim (w. 751 H).9
Orientasi ke arah tafsir mawdhu’iy terus
berkembang. Pada masa modern ini sejumlah pemikir muslim, seperti Abbas Mahmud
al-'Aqqad dan al-Mawdudi, berupaya untuk rnengarahkan pemikiran mereka kepada
problemaproblema barn dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawaban terhadap
problema-problema barn itu melalui petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Dengan demikian
lahirlah karya-karya ilmiah yang membahas tentang suatu topik menurut pandangan
al-Qur'an. Abbas Mahmud al-'Aqqad, misalnya, melahirkan karyanya al-Insan fi
al-Qur'an dan al -Mar'ah fi al-Qur'an. Sedangkan al-Mawdudi menulis al
-Riba, fi al-Qur 'an.'"
Patut dicatat
bahwa karya-karya ilmiab seperti di atas belum dimaksudkan oleh para penulisnya
sebagai pembahasan tafsir. Dui karya-karya itu sejumlah ulama tafsir memperoleh
inspirasi bare dan, kemudian, lahirlah karya-karya tafsir yang mengambil satu
topik tertentu dengan cara menghimpun sejumlah ayat-ayat yang berkenaan dengan
topik itu untuk dikaitkan satu sama dengan yang lainnya dan diambil kesimpulan
menyeluruh mengenai masalah tersebut menurut pandangan al-Qur'an.
Menurut Quraish
Shihab, metode ini dilontarkan pertama kali di Mesir oleh Dr. Ahmad Sayyid
al-Kumiy yang menjabat sebagai ketua jurusan tafsir pads fakultas Ushuluddin
universitas al-Azhar hingga tahun 1981.11 Setelah itu muncullah
karya-karya tafsir mawdhu’iy, seperti kar 'a Prof Dr. Husain Abu Farhah
yang berjudul at-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-Tafsir al-Mawdhu'iy li al-Ayat al-Qur'aniyyah.
Agar metode tafsir
mawdhu’iy dapat diterapkan secara efektif, maka perlu diketahui
langkah-langkah yang perlu diikuti oleh setiap mufassir ketika ingin
menafsirkan al-Qur'an dengan metode ini. Al-Farmawi mengusulkan langkah-langkah
tafsir mawdhu’iy sebagai berikut:
1.
Memilih atau menetapkan tema yang akan dibahas secara tematik;
2.
Mencari dan menghimpun segenap ayat-ayat yang berkenaan dengan tema
yang akan dibahas, baik ayat-ayat yang turun di Makkah (makkiyvah) maupun
ayat-ayat yang turun di Madinah. Untuk melacak ayat-ayat itu, dapat digunakan
buku-buku indeks al-Qur'an, seperti a1-Mu’ jam al - Muf ahras Ii
Al jaz al-Qur'an susunan Fuad Abd al-Baqiy atau buku lain yang sejenis,
dengan memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang berhubungan dengan
masalah yang dibahas;
3.
Menyusun ayat-ayat yang berhasil dihimpun sesuai dengan kronologi
turunnya ayat-ayat dengan memperhatikan latar belakang historis turunnya
ayat-ayat itu (sabab al-nuzul);
4.
Memahami hubungan (korelasi) antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat
lain di dalam masing-masing surahnya;
5.
Menyusun pembahasan dengan membuatnya dalam kerangka yang tepat dan
utuh;
6.
Bila dipandang perlu, melengkapi pembahasan tentang tema yang
dikaji dengan hadis-hadis Nabi agar pembahasan menjadi lebih sempurna dan lebih
jelas;
7.
Mengkaji ayat-ayat itu dengan kajian yang objektif dan terpadu
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang sama,
memadukan antara yang `am dan yang khas, antara yang muthlaq dan
yang muqayyad dan antara ayat-ayat yang lahirnya terkesan bertentangan,
sehingga ayat-ayat itu bnerada pada satu titik temu tanpa ada kontradiksi atau
pcmaksaan terhadap makna sebagian ayat.[5]
Langkah-langkah
yang dikemukakan oleh al-Farmawi di atas tentunya rnasih terbuka untuk
dikembangkan lebih lanjut. Dalam rangka pengembangan metode tafsir mawdhu’iy,
Quraish Shihab menanggapi langkah-langkah yang diusulkan oleh al-Farmawiy
dengan mengajukan catatan-catatan berikut:
1.
Pemilihan tema hendaknya diprioritaskan pada
permasalahan penting yang dihadapi oleh masyarakat yang membutuhkan jawaban dan
pemecahan secara mendesak. Dengan demikian dapat diharapkan penafsiran yang
dilakukan menjadi solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Hal ini menuntut para mufassir yang ingin menerapkan metode mawdhu’iy
untuk meneliti terlebih dahulu masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat
yang amat membutuhkan jawaban dari al-Qur'an, seperti masalah aborsi yang marak
akhir-akhir ini;
2.
Penyusunan runtutan ayat-ayat al-Qur'an sesuai
dengan masa turunnya hanya diperlukan untuk mengetahui perkembangan petunjuk
al-Qur'an mengenai permasalahan yang dibahas, terutama bagi mufassir yang
berpendapat adanya nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an. Bagi
mufassir yang hendak menguraikan satu kisah atau suatu kejadian, maka runtutan
ayat yang dibutuhkan olehnya adalah runtutan kronologis peristiwa;
3.
Untuk kesempurnaan metode ini, mufassir harus
berusaha sejak dini untuk memahami makna kosakata ayat dengan cara merujuk
kepada penggunaan al-Qur'an itu sendiri terhadap kata-kata itu. Mufassir hares
mengarahkan pengamatannya pada bentuk dan hubungan kata yang digunakan, subjek
dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Hal ini perlu dilakukan mufassir
karena bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna
tersendiri. Bentuk ji 'l mengandung makna pergerakan, bentuk ism memberi
kesan kemantapan, bentuk jarr memberi kesan keterkaitan dalam keikutan,
dsb.
4.
Mengingat pentingnya pengetahuan sabab al-nuzul dalam memahami
ayatayat al-Qur'an, maka pengetahuan tentang sabab al-nuzul ini tdak dapat diabaikan
dalam metode ini, meskipun riwayat-riwayat sabab al-nuzul tidak
dicantumkan dalam uraian tafsir tematik.'
Jika dibandingkan dengan metode tafsir tahliliy,
metode tafsir mawdhu’iy memiliki beberapa keistimewaan atau keunggulan.
Metode mawdhu’iy ini dapat diandalkan untuk menghilangkan beberapa
kelemahan yang terdapat pada tafsir tahliliy. Beberapa kelemahan tafsir tahliliy
itu dapat dilihat pada uraian berikut.
Metode tafsir tahliliy yang memahami
al-Qur'an secara ayat-per-ayat tidak jarang menghasilkan pemahaman yang parsial
(sepotong) tentang pesan al-Qur'an yang seharusnya dipahami secara utuh. Tidak
jarang penafsiran seperti ini digunakan untuk membela sudut pandang tertentu
secara semena‑mena.[6]
Tafsir dengan metode tahliliy memang
dapat dianggap sebagai pendekatan yang luas, namun metode ini, sebagaimana
disinyalir oleh Quraish Shihab, "tidak menyelesaikan satu pokok bahasan
karena seringkali sate pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada
ayat lain.[7]
Dalam metode tahliliy informasi yang tersedia seolah-olah tercerai-berai
dan seakan-akan tidak ada mata rantai untuk mengkoordinasikan informasi
tersebut dan untuk menyajikan pandangan al-Qur'an yang berhubungan dengan
berbagai masalah kehidupan dan kemasyarakatan.
Berbeda dengan metode tafsir tahliliy,
metode tafsir mawdhu’iy tidak menekankan pada pembahasan ayat-per-ayat.
Metode mawdhu’iy mengkaji ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara mengenai
tema tertentu. Karena itu informasi yang tercerai berai dapat dikaji secara
utuh dan terpadu. Sehubungan dengan itu, Baqir Shadr mrnyatakan bahwa tafsir mawdhu’iy
dapat diharapkan untuk "mengangkat berbagai isyu dengan konsep al-Qur'an
yang, pada akhirnya, akan sampai pada pemahaman wahyu yang mengacu pada
kesatuan pandang terhadap alam dan kehidupan".[8]
Di samping itu, karena metode tafsir mawdhu’iy
dimulai dari realita kehidupan atau dari kajian permasalahan kehidupan dan
diakhiri dengan pandangan al-Qur'an, maka dapat diharapkan pemahaman al-Qur'an
akan menyatu dengan realita permasalahan umat manusia. Dengan metode ini juga
dapat dibantah anggapan tentang adanya ayat-ayat al-Qur'an yang bertentangan.
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh metode
tafsir mawdhu’iy adalah kemampuannya untuk memudahkan pembacanya dalam
memahami dan mencerna pesan-pesan al-Qur'an. Quraish Shihab mengumpamakan
tafsir mawdhu’iy bagaikan hidangan yang disajikan dengan cara dikemas
dalam bentuk sebuah kotak yang berisi makanan-makanan yang telah dipilih oleh
si penyaji sehingga si konsumen tidak perlu merasa repot untuk mencari-cari
jenis makanan yang dikonsumsi.[9]
Keistimewaan tafsir al-Mawdhu’iy juga
bisa dilihat dari kenyataan bahwa metode tafsir ini pada hakekatnya menerapkan
metode penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an. Penafsiran seperti ini dianggap
oleh banyak ulama sebagai cara penafsiran yang paling tepat, seperti dinyatakan
oleh Ibn Taymiyyah bahwa "cara yang paling tepat dalam penafsiran
al-Qur'an adalah penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an (yufassar al-Qur 'an bi
al-Our 'an).2°
Dengan sejumlah
keistimewaan atau keunggulan yang dimiliki oleh tafsir mawdhu’iy,
metode ini juga tidak luput dari problema atau kelemahan. Menentukan suatu ayat
sebagai penafsir bagi ayat yang lain atau memperlakukan keduanya sebagai saling
menafsirkan boleh jadi merupakan masalah persepsi para mufassir dan dapat saja
menjadi subjektif. Jika dua ayat yang saling menafsirkan itu terletak
berurutan, maka hal ini tidak men jadi problema. Yang mungkin jadi masalah
disini adalah penafsiran ayat-ayat pada satu tempat atau satu surah dengan ayat
lain yang berada pada tempat atau surah lain yang boleh jadi berjauhan
letaknya.[10]
Problema lain
adalah menyangkut penetapan suatu ayat ke dalam suatu tema tertentu. Masalah
seperti ini bisa juga jadi permasalahan subjektifitas. Hal ini bisa dilihat,
misalnya, dari perbedaan pendapat beberapa ahli hukum Islam tentang jumlah
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur'an. Menurut Abd al-Wahhab Khallaf,
mantan guru besar hukum Islam pada universitas Cairo, ayat hukum dalam
al-Qur'an berjumlah 368.[11] Sedangkan
J.J. Nasir, mantan Menteri Agama Jordania, berpendapat bahwa dalam al-Qur'an
terdapat 500 ayat.[12]
Pakar sejarah hukum Islam yang lain, N.J. Coulson, menyatakan bahwa ada sekitar
600 ayat yang berhubungan dengan hukum.[13]
Di samping itu, penerapan metode tafsir mawdhu’iy
bukan suatu hal yang mudah. Metode ini memang memberi kemudahan bagi pembaca
atau konsumennya, tapi belum atau tidak menjanjikan kemudahan bagi mufassir
yang menerapkannya. Metode ini memerlukan kehati-hatian, ketekunan dan waktu
yang cukup. Metode ini juga membutuhkan keahlian akadernis yang memadai, karena
mufassir yang menggunakannya dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan,
dengan tema yang dikaji dan dituntut untuk menghadirkan dalam pikirannya
pengertian kosakata ayat, sabab al-nuzul, munasabah, dll.
(bersambung ke tafsir tahlily)
[1] Hans Weir, a
Dictionary of Modern Written Arabic, hlm. 1076. Lihat jugs Ma'louf,
al-Munjid,fi al-Lughah wal A 'lam. hlm. 905 dan
Muslim. Mabahits_ fi al-Tafsir a! Mawdhu’iy, hlm. 15
[2] Muslim, op
cit, hlm. 16
[3]
Aridi. Sejarah dan Metodologi Tafsir. hlm. 79. Contoh penafsiran surah
Yasin dengan rnetode seperti ini dapat dilihat pada ibid. hlm. 79-80
[4] Diriwayatkan
oleh al-Bukhari bahwa para sahabat Nabi merasa sangat berat ketika turun firman
Allah "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan irnan mereka
dengan kezaliman ". Mereka lalu bertanya kepada Nabi: Wahai Nabi,
siapakah di antara kami yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya sendiri?
Rasulullah menjawab: "Makna avat itu tidak seperti yang kalian pikirkan.
Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan hamba Allah yang shalih (Luqman): "Sesungguhnva
kemusvrikan adalah kezaliman yang besar Lihat al-Bukhari. Shahih
al-Bukhari, jilid V t, hlm. 207-208
[5]Al-Farmawi,
al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,
diktat mata kuliah tafsir pada universitas al-Azhar, Kairo, 1988. hlm.
45-46
[6] Beberapa
contoh tentang tafsir al-Qur'an yang digunakan untuk membela sudut pandang
tertentu dapat dilihat, misalnya, pada Asy-Syirbashi. Sejarah Tafsir al-Qur
'an, hlm. 149-159
[7] Shihab, op
cit, hlm. 86
[8]
Shadr, Pedoman Tafsir Modern, hlm. 14
[9] 'Shihab,
Wawasan al-Qur 'an, hlm. xii '" Muslim, op cit, hlm. 18.
[10] Rakhmat, Kata
Pengantar dalam Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung,
Mizan, 1996, hlm. 27
[11] Khallaf, Ilm
Ushul al-Filth, hlm. 32-33
[12] Nasir, the
Islamic Law of Personal Status, hlm. 18
[13] Coulson, a
History of Islamic Law, hlm. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar