TUNTUNAN IBADAH RAMADLAN
(Syakir Jamaluddin, M.A.)*
A. PUASA RAMADLAN
Pengertian
Puasa (صِيَامٌ /صَوْمٌ
) menurut istilah adalah:
الإِمْسَاكُ عَنِ الْمفَطِّرَاتِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ إلى غُرُوْبِ الشَّمْسِ مَعَ النِّيَّة
“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari yang disertai niat.”
Menurut sunnah Nabi, puasa tidak
sekedar menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi juga dari
hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa, seperti: mengerjakan hal-hal yang
memang dibenci oleh Allah SWT, misal: bertengkar, berkata/berlaku jorok, berbohong,
curang atau berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ
لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan
dusta maka tidak ada perlunya bagi Allah (untuk memperhatikan) dalam ia
meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari, Tirmidzi, dll.
dari Abu Hurayrah)
...الصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ
فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“…Puasa itu
benteng, dan apabila salah seorang kalian berpuasa maka janganlah berkata
kotor, jangan marah. Jika seseorang mencacinya atau memeranginya, maka
hendaklah ia berkata, “Sesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR.
Imam yang Lima, dari Abu Hurayrah)
Dasar Kewajiban Puasa Ramadlan
Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ، أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ...، شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ…
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana juga diwajibkan atas orang-orang
sebelummu, agar kamu bertaqwa, (yakni) selama beberapa hari yang
tertentu… (yaitu) Bulan Ramadlan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia, penjelasan bagi petunjuk itu dan pembeda (antara yang
haq & yang batil). Barangsiapa yang hadir di bulan itu maka wajiblah ia
berpuasa …" (QS. Al-Baqarah/2: 183-185)
Berdasarkan ayat 183 di atas bahwa tujuan puasa Ramadlan untuk memproses orang
beriman menjadi manusia yang ber-taqwâ (لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ), yakni: terpelihara fitrahnya sebagai manusia, terpelihara hubungannya
dengan manusia & makhluq lainnya, terpelihara kehidupannya di dunia dan di
akhirat karena ia mampu memelihara hubungan baiknya dengan Khaliqnya, yakni
Allah SWT.
Siapa yang diwajibkan berpuasa?
Syarat wajib puasa adalah
1.
Muslim atau orang beriman. (QS. 2: 183)
2.
Mumayyiz yakni berakal (âqil) & sudah dewasa (bâligh).
(HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
3.
Qâdir (kuat berpuasa). Orang yang tidak kuat berpuasa tidak
diwajibkan berpuasa, seperti: orang yang sedang sakit yang menguras ketahanan
fisiknya, sedang bepergian jauh & melelahkan, orang tua renta, ibu hamil
atau baru melahirkan/menyusui anaknya, buruh/pekerja berat, dan semacamnya. Diharamkan
berpuasa bila dengan puasanya itu justru membahayakan dirinya.
Adapun syarat sah puasa, di samping poin di
atas, masih ditambah dua syarat lagi, yaitu:
1.
Bagi wanita, harus suci dari haid, nifas ataupun wilâdah.
2.
Dikerjakan pada hari yang dibolehkan berpuasa (bukan pada
dua hari raya Ied & hari Tasyrik).
Hal-hal yang Membatalkan Puasa:
1.
Makan.
Dasarnya firman Allah SWT:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah/2:
187)
2.
Minum.
Dasarnya QS. Al-Baqarah/2: 187.
3.
Hubungan seksual. Dasarnya sama dengan di atas. Yang membedakannya adalah konsekwensi
hukumnya yang lebih berat, yaitu bagi suami istri yang berhubungan seks saat
puasa Ramadlan maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut jika
tidak punya budak yang dibebaskan. Jika tidak mampu, maka memberi makan fakir
miskin sejumlah 60 orang, dst. (HR. Jamaah). Adapun jika bermimpi di siang hari
atau bangun kesiangan padahal dia lupa mandi junub maka hal itu tidak
membatalkan puasa.
4.
Muntah dengan sengaja. Jika tidak sengaja, tidak membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada hadis
Nabi saw:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ
عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang muntah maka tidak ada
kewajiban mengganti terhadapnya. Namun barangsiapa muntah dengan sengaja maka
hendaklah ia menggantinya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dari Abu Hurayrah)
5.
Keluar darah haid dan nifas sebagai konsekwensi dari syarat sahnya puasa.
6.
Gila saat sedang puasa.
Adab
berpuasa yang dituntunkan oleh Nabi saw:
1.
Niat yang ikhlas karena Allah
semata, bukan karena yang lain. Misal: berpuasa karena ingin sehat, apalagi
hadis: صُوْمُوا
تَصِحُّوا : ”Berpuasalah maka
kamu akan sehat” adalah daif & palsu riwayat al-Thabrani & Abu
Nu’aym. Walaupun puasa bisa menyehatkan jiwa, raga, akal dan hubungan sosial
manusia, tapi kita dituntunkan berpuasa karena percaya 100% kepada Allah SWT
dan semata karena mengharap ridla-Nya. Nabi saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
”Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan atas dasar iman & mengharap ridla
Allah, maka ia akan diampuni dosanya yang terdahulu.” (HR. al-Jama’ah, dari Abu Hurayrah)
2.
Makan sahur. Nabi
saw bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena pada
sahur itu terdapat barakah.” (HR. Jama`ah, kecuali Abu Dawud,
dari Anas ra.)
Waktu makan sahur yang disunatkan oleh Nabi saw
yaitu di waktu akhir malam.
3.
Menjauhi hal-hal yang dapat membatalkan atau
mengurangi nilai puasa. Termasuk hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa
selain yang telah disebutkan di atas adalah berkumur secara berlebihan,
misalnya saat berwudhu. Nabi saw bersabda:
أَسْبِغِ
الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلاَّ
أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Sempurnakanlah dalam berwudhu,
sela-selailah di antara jari-jemarimu dan sampaikanlah (ke dalam-dalam) dalam
berkumur, kecuali kamu berpuasa.” (HR. Imam yang Lima, dari Laqith bin Shabirah).
Tetapi bila menyiramkan air ke kepala karena
kepanasan, tidaklah mengapa, karena Nabi saw pernah melakukan hal ini saat
kehausan dan kepanasan di siang hari. (HR. Ahmad, Malik dan Abu Dawud)
4.
Bila waktu berbuka sudah tiba,
sangat dianjurkan untuk menyegerakan berbuka. Nabi saw bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka
menyegerakan berbuka.” (Muttafaq ’alayh)
5.
Berbuka dengan makanan dan
minuman yang manis-manis dan jangan berlebihan. Rasulullah saw biasa berbuka
dengan kurma, atau minum beberapa teguk air saja lebih dulu (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi), lalu shalat Maghrib secara berjama’ah di Masjid. Sebelum makan-minum,
ucapkanlah “Bismillâh”, lalu setelah tenggorokan basah, ucapkanlah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Haus telah
lenyap, urat-urat telah basah, dan semoga tetaplah pahala, Insya Allah". (HHR. Abu Dâwud & al-Nasâ’i)
6.
Memberikan makanan berbuka bagi
orang yang berpuasa.
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang memberikan buka puasa
pada orang yang berpuasa, maka bagianya mendapat pahala yang sama dengan orang yang berpuasa
tersebut tanpa ada pengurangan sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa.” (HR. Tirmidzi, Ibn Majah,
Ahmad & Darimi)
7.
Upayakan shalat fardlu dan
shalat tarawih berjama`ah di masjid.
8.
Lakukan amalan-amalan utama di
bulan Ramadhan, yaitu:
a.
Qiyâmu Ramadlân atau Shalat Tarâwîh
Waktunya sesudah shalat
'Isya hingga jelang fajar, boleh dikerjakan di awal waktu setelah
shalat Isya’, di pertengahan malam, namun lebih
utama di 1/3 akhir malam. Awalilah
shalat Tarawih dengan 2 raka'at yang ringan-ringan (rak‘atayn khafifatayn) sebagai
shalat iftitâh/pembuka. Nabi saw bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ
اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
”Apabila salah
seorang kalian mendirikan shalat layl, maka hendaklah dibuka dengan dua rakaat
yang ringan-ringan!” (HR.
Muslim, Ahmad)
Sesudah takbîratul-ihrâm, bacalah:
سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوتِ
وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
"Maha Suci Allah Dzat
yang memiliki alam semesta, yang mencukupi, Maha Besar dan Maha Agung" (HR. Thabrani), lalu baca Al-Fatihah
dan kemudian ruku' tanpa membaca surat lainnya setelah Al-Fatihah.
Kemudian kerjakanlah 11
raka'at, bisa dengan format raka`at: 4-4-3 raka'at, atau
bisa juga shalat layl dengan format 2-2-2-2-2-1.
Format shalat layl 4-4-3
ini didasarkan pada perbuatan Nabi saw yakni ketika
Abu Salamah ra. bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang shalat layl Nabi saw di
bulan Ramadlan:
كَيْفَ
كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ؟
فَقَالَتْ:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلاثًا
“Bagaimana dulu shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan?” Jawab
‘Aisyah: “Rasulullah saw tidak pernah menambah (rakaat), baik di dalam Ramadlan
maupun di luar
Ramadlan di atas 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan kamu tanyakan bagus
dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat lagi, jangan kamu tanya
bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq ‘alayh, dari Aisyah ra.)
Di tiga raka'at terakhir, disunnahkan untuk membaca
surat Al-A'lâ pada raka'at pertama, surat Al-Kâfirûn pada raka'at
kedua dan surat Al-Ikhlâsh pada raka'at ketiga.
Adapun format shalat
layl 2-2-2-2-2-1 didasarkan pada hadis ‘Aisyah, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas ra, dll.
Menurut ‘Aisyah ra:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ
الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ...
“Rasulullah saw mengerjakan shalat (layl) pada waktu
antara selesai shalat Isya --yang disebut orang sebagai ‘Atamah-- sampai fajar,
sebelas rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat dan beliau melakukan
witir satu rakaat. Apabila muadzin diam usai adzan shalat Fajar (nama lain
shalat Subuh) dan sudah jelas bagi beliau waktu fajar, beliau shalat dua rakaat
yang ringan-ringan. Kemudian beliau berbaring ke sebelah kanan hingga datang
muadzin untuk qamat.” (HSR.
Muslim, al-Nasâ’i,
Abu Dâwud, Ahmad ra).
Atau hadis dari Ibn ‘Umar dengan
format 2-2-1:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ
أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat layl itu dua
rakaat-dua rakaat. Bila salah seorang kamu khawatir masuk waktu Subuh, maka
segera shalat satu rakaat untuk mengganjilkan pada shalat yang telah ia
kerjakan.” (HR. Al-Jama’ah, dari
Ibn ‘Umar ra).
Walaupun boleh dan
sah mengerjakan shalat malam 1 rakaat namun kebolehan ini sebaiknya hanya
dilakukan jika khawatir masuk waktu Subuh. Hal ini karena menurut ‘Aisyah ra,
jumlah minimal shalat malam yang biasa dilakukan oleh Nabi saw adalah 7 rakaat,
sedangkan maksimalnya 11 rakaat di luar shalat 2 rakaat yang ringan-ringan
(HSR. Muslim, al-Nasa’i & Abu Dâwud).
Selain format 4-4-3
dan 2-2-1 di atas, Nabi saw pernah juga melaksanakan shalat malam dengan format
yang lain, seperti: 8-2-1, 8-1, 4-3, 6-3, 8-3. Selama masih didasarkan pada
hadis maqbûl, silakan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah
semata (tanpa diucapkan), yang penting akhiri shalat malam tersebut dengan
rakaat witir/ganjil karena berdasarkan hadis qawli/perkataan, Nabi
saw pernah memerintahkan:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ
بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat malammu menjadi ganjil!” (Muttafaq
‘alayh, dari Ibn ‘Umar ra.)
Dan ingat, Nabi saw juga mengingatkan: لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ : “Tidak ada dua witir dalam
satu malam.” (HHR. Abu Dâwud, al-Tirmidzi, al-Nasâi)
Setelah salam, bacalah:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ (3(x
"Maha Suci Tuhan
Yang Merajai, Yang Maha Suci" dengan menyaringkan suara pada bacaan ketiga, kemudian membaca:
رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ
"Tuhan Yang
menguasai Malaikat dan Jibril"
Perhatian: Tidak ada hadis maqbûl yang menuntunkan untuk membaca bacaan-bacaan khusus di sela-sela istirahat shalat tarawih!
b.
Tadarrus (membaca &
mempelajari) dan tadabbur (merenungkan) Al-Qur’an serta mengaktualisasikan
nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Dzikir dan Do'a
Perbanyak dzikir & do'a
kepada Allah SWT terutama pada malam perburuan Laylatul-Qadr, antara lain:
1)
Do'a
untuk kebaikan dunia dan akhirat
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Ya Allah,
berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan
peliharalah kami dari siksa neraka"
2)
Do'a
untuk mendapat pengampunan Allah:
اللَّهُمَّ
إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sungguh
Engkau Maha Pemaaf Maha Mulia. Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah
diriku" (HR. Ibn Mâjah, Ahmad)
d.
Perbanyak
shadaqah/infaq di bulan Ramadhan. Suatu ketika Nabi saw
ditanya oleh seorang sahabat:
فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:
صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ
“Manakah shadaqah yang paling afdlal? Jawab
Nabi saw bersabda: Shadaqah pada bulan Ramadlan.”(HR. Tirmidzi)
e.
I’tikaf
Pada 10 hari terakhir di bulan Ramadlan disunnahkan beri`tikaf
(berdiam) di masjid untuk berdzikir dan berfikir (tafakkur) sampai malam
'Idul Fitri. Rasulullah saw senantiasa
mengajak keluarganya untuk i'tikaf di masjid, sebagaimana riwayat Aisyah
ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Rasulullah saw senantiasa beri`tikaf
selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadlan,
sampai Allah SWT mewafatkannya, kemudian istri-istri beliau tetap beri`tikaf
sepeninggalnya.” (HR. Al-Bukhari
& Muslim, dari Aisyah ra.)
Halangan Puasa
Secara garis besar, halangan berpuasa dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.
Bagi orang yang sakit (termasuk
wanita haid) atau sedang bepergian jauh, jika tidak kuat berpuasa maka
disunnahkan untuk membatalkan puasanya dan harus meng-qadha/mengganti
puasanya pada hari lain. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ...
“Barangsiapa di antaramu sedang sakit atau
sedang bepergian, maka wajib mengganti puasanya sebanyak hari yang ia
tinggalkan pada hari-hari lainnya.”
(QS. Al-Baqarah/2: 184)
Bagi wanita yang sedang haid (menstruasi)
tidak diperkenankan berpuasa kecuali bila telah selesai haidnya. Dasarnya
adalah hadis dari ‘Aisyah ra:
كَانَ
يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّلاَةِ.
“Kami
pernah mengalami hal itu (haid), kami diperintahkan mengqadla’ puasa dan tidak diperintah mengqadla
shalat.” (HSR. Muslim &
Ahmad ra.).
2.
Bagi orang yang memang berat berpuasa, misal: lanjut
usia, sakit menahun yang mustahil sembuh, wanita hamil/menyusui anaknya (HHR.
Tirmidzi, Nasa’i), maka boleh tidak puasa dengan syarat wajib membayar fidyah
yaitu memberi makan kepada satu orang miskin sebanyak 1 mud (0,6 Kg atau
3/4 Liter) per hari sesuai berapa banyak puasa yang ia tinggalkan. Dasar
kewajiban membayar fidyah adalah lanjutan firman Allah di atas:
وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ...
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat
melaksanakannya, membayar fidyah (yakni) dengan memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
Orang Mati Tapi Punya Hutang Puasa
Para ulama sepakat bahwa
hutang wajib dilunasi, termasuk hutang puasa bagi yang sudah wafat. Hanya
saja mereka berbeda pendapat dalam cara membayar hutang puasa bagi yang sudah
meninggal dunia. Ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama,
yaitu:
1. Walinya wajib berpuasa untuk menggantikan hutang puasa yang ditinggalkan si mati. Pendapat ini didasarkan pada riwayat
Ibn ‘Abbas yang menceritakan bahwa
seseorang datang melapor pada Nabi saw:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ
عَنْهَا؟ فَقَالَ: لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟
قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
“Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia
sedang dia brhutang puasa satu bulan, apakah aku harus melunasinya? Maka Nabi
saw berkata: Sekiranya ibumu mempunyai hutang apakah kamu akan melunasinya? Dia
menjawab: Tentu. Beliaupun bersabda: Maka hutang kepada Allah lebih berhak
untuk dilunasi.” (HR. Jama`ah, dari Ibn ‘Abbas)
2. Walinya tetap wajib menggantikan hutang puasa
si mati, tetapi tidak harus dengan cara berpuasa, bisa juga menggantinya dengan
membayar fidyah jika yang wafat tersebut dalam keadaan koma cukup lama.
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى، وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. Al-Najm/53:
38-39)..
B. ZAKAT FITRI
Yang dimaksud dengan zakat fitri (زَكَاةُ الْفِطْرِ) yaitu zakat yang diwajibkan pada setiap muslim tanpa kecuali,
yang dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat Iedul Fitri. Menurut Ibn `Umar ra. bahwa:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ
وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ
النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah satu
sha` dari kurma atau satu sha` dari gandum terhadap seorang hamba, merdeka,
laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan muslim. Dan beliau
memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” (Muttafaq 'alayh)
Jenis materi yang
dikeluarkan pada zakat fitri adalah makanan pokok yang biasa kita makan dengan
ukuran satu sha` (= 2,176 Kg) atau biasa dibulatkan menjadi 2,5 Kg.
Bisa dibayarkan dengan uang yang setara dengan harga makanan pokok yang biasa
kita makan, tetapi ketika pembagiannya, hendaknya dibelikan dengan makanan
pokok sejenis, menyesuaikan dengan makanan pokok lain yang akan dibagikan
kepada faqir miskin.
C.
TUNTUNAN
TAKBIR & SHALAT ‘IEDUL-FITHRI
Nabi saw menganjurkan pada semua orang Islam –termasuk
anak-anak dan wanita haid—supaya ikut Shalat
‘Ied dengan bertakbir menuju ke lapangan tempat shalat (al-mushallâ),
meskipun wanita haid tidak ikut shalat dan berada di luar shaf
shalat.
Pada saat ‘Ied, Rasulullah saw menuntunkan untuk bertakbir membesarkan nama
Allah ketika berangkat ke tempat shalat, dan
menuntunkan untuk menempuh jalur yang berbeda ketika pulang dari
tempat shalat (HSR. Al-Bukhâri, al-Tirmidzi, Abu Dâwud, Ibn Mâjah dan Ahmad). Untuk
takbir ‘Iedul Fitri sudah bisa dimulai sejak malam
setelah sempurnanya hitungan bulan Ramadlan. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan bertakbir
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al-Baqarah/3: 185)
Sebelum berangkat ke
tempat shalat, hendaklah menggunakan pakaian yang terbaik yang dimilikinya,
memakai parfum/wangi-wangian yang tidak menyengat, dan makan secukupnya.
Lafal
takbir ‘Ied antara lain seperti yang disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar bin
al-Khaththâb, dan ‘Ali bin Abi Thâlib ra.:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ
أَكْبَرُ، لاَ إلَهَ إلاَّ
اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar, tidak ada tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar dan
bagi-Nyalah segala pujian.” (HHR.
Ibn Abi Syaybah, ‘Abd al-Razzâq, & Ibn al-Mundzir)
Jika tidak hujan dan becek, maka shalat ini lebih utama dilakukan di
lapangan. Hal ini karena Nabi saw bersama sahabat selalu shalat ‘Ied di tanah
lapang yang berjarak 1000 hasta atau 200 meter dari masjid, kecuali bila
hujan
atau lapangan becek.
Shalat ‘Ied ini dikerjakan sebelum khutbah, tanpa diawali dengan adzan dan
iqamat (Muttafaq ‘alayh) dan tanpa shalat sunat sebelum dan sesudahnya (HR.
Al-Jamâ‘ah). Jumlah raka`atnya adalah dua raka`at, di mana pada raka`at pertama
dibuka dengan takbir 7 kali (sudah termasuk takbîratul-ihrâm) dengan
mengangkat tangan setiap takbir (berdasarkan keumuman HSR. Abu Dâwud, al-Bayhaqi
& al-Daruquthni, dari Ibn 'Umar), dan pada rakaat kedua dengan takbir 5 kali, di luar
hitungan takbir intiqâl (pindah gerakan). Nabi saw bersabda:
التَّكْبِيرُ فِي
الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي اْلأُولَى وَخَمْسٌ فِي اْلآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ
بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا.
“Takbir di hari raya fithri tujuh kali (takbir) pada (rakaat)
pertama dan lima kali (takbir) pada (rakaat) yang akhir, dan bacaan sesudah
kedua-duanya.” (HHR. Abu Dâwud, Ibn
Mâjah, Ahmad)
Selain itu ada hadis pendukung yang disandarkan pada ‘Âisyah ra dan Abu
Hurayrah ra bahwa:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ
وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا
“Sesungguhnya Rasulullah saw bertakbir
(dalam shalat) pada ‘Iedul-Fithri dan Adlhâ pada rakaat pertama 7
takbir, dan pada rakaat kedua 5 takbir.”
(HHliGR. Riwayat Abu Dâwud, Ibn Mâjah, Ahmad, al-Hâkim).
Para sahabat, seperti Abu
Hurayrah, Ibn ‘Abbâs, dll, bertakbir 7 kali dan 5 kali sebelum membaca surat
al-Fâtihah (HR. Mâlik & Ibn Abi Syaybah) dan tidak ada satupun
dalil hadis yang menyelisihinya, misalnya yang menuntunkan takbir 1 kali
seperti shalat Subuh atau Jum’at.
Setelah shalat dua
rakaat kemudian diikuti dengan khutbah ‘Ied (Muttafaq ‘alayh), tidak pakai
duduk (karena hadisnya maqthû‘ & daif) dan langsung ditutup dengan do`a.
* Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah; Dosen Ilmu Hadis pada
Fakultas Agama Islam UMY.
disampaikan dalam kajian ahad kliwon oleh ustd. Hidayaturrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar