APAKAH ADA AMAL YANG BERMANFAAT BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL ?
Pengantar
Polemik mengenai ada tidaknya amal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal senantiasa menarik untuk ditelaah. Berdasarkan sebuah hadist, dikatakan bahwa ketika seseorang meninggal maka telah terputus semua
amalnya kecuali tiga perkara. Dan ini sering ditafsiri tidak adanya amalan yang bisa dilakukan oleh yang orang masih hidup yang akan sampai kepada si mayit.Apalagi bila orang tersebut tak memiliki kaitan nasab. Benarkah demikian ?
Dialog yang terjadi dalam majelis ilmu "Sinau Bareng" Cak Nun berikut sangat layak untuk dikaji. Mohon dimaafkan kalau ada yang kurang berkenan dengan pemuatan video ini.
Dan berikut ini adalah materi kajian mengenai amalan yang bermanfaat bagi si mayit oleh ustadz. H. Aris Samsugito, S.Ag pada Kajian Rutin Ahad Wage , Desember 2015
AMALAN YANG BERMANFAAT BAGI SI MAYIT
Apabila anak Adam meninggal maka akan terputuslah semua amalnya kecuali 3 perkara.
Hal ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah ra.:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
“Apabila
manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”. (HR.
Muslim)
Namun
demikian, orang yang sudah meninggal masih bisa memanfaatkan amalan orang yang
masih hidup, di antaranya:
1.
Doa seluruh
umat Islam untuknya, berdasarkan firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ [الحشر/10]
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hasyr (59) : 10)
Dalam ayat ini ditegaskan oleh Allah bahwa
umat Islam yang datang belakangan mendoakan saudaranya yang telah
mendahuluinya dari Muhajirin dan Anshar. Ini artinya doa orang yang masih hidup
bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal.
Hal tersebut dikuatkan oleh hadis-hadis
Rasulullah saw. yang berkenaan dengan masalah ini, di antaranya sabda beliau
diriwayatkan Abu Darda’ ra.:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ
الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا
لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ (رواه
مسلم (
“Doa seorang muslim
kepada saudaranya dari kejauhan (tidak berhadapan) adalah mustajab, di atas
kepalanya ada malaikat yang mewakili, setiap mendoakannya dengan kebaikan,
berkatalah malaikat yang mewakili itu, ‘Semoga doa itu dikabulkan dan bagimu
yang semisalnya”. (HR. Muslim)
Sebenarnya, shalat jenazah juga sudah cukup sebagai bukti mengenai manfaat doa orang
yang hidup bagi orang yang sudah wafat, karena dalam pelaksanaannya sebagian
besar berisikan doa bagi mayit dan permohonan ampunan untuknya.
2.
Melunasi hutang-hutang
mayit. Ini bisa dilakukan
oleh orang yang dihutangi maupun orang lain, baik kerabat
mayit maupun bukan. Mengenai hal ini banyak sekali hadis yang diriwayatkan
secara sahih sebagaimana berikut ini:
a.
Hadis yang
dikisahkan Jabir ra.:
أُصِيبَ عَبْدُ اللَّهِ
وَتَرَكَ عِيَالاً وَدَيْنًا ، فَطَلَبْتُ إِلَى أَصْحَابِ الدَّيْنِ أَنْ
يَضَعُوا بَعْضًا مِنْ دَيْنِهِ فَأَبَوْا ، فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله
عليه وسلم - فَاسْتَشْفَعْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا ، فَقَالَ « صَنِّفْ
تَمْرَكَ كُلَّ شَىْءٍ مِنْهُ عَلَى حِدَتِهِ ، عِذْقَ ابْنِ زَيْدٍ عَلَى حِدَةٍ
، وَاللِّينَ عَلَى حِدَةٍ ، وَالْعَجْوَةَ عَلَى حِدَةٍ ، ثُمَّ أَحْضِرْهُمْ
حَتَّى آتِيَكَ » . فَفَعَلْتُ ، ثُمَّ جَاءَ - صلى الله عليه وسلم - فَقَعَدَ
عَلَيْهِ ، وَكَالَ لِكُلِّ رَجُلٍ حَتَّى اسْتَوْفَى ، وَبَقِىَ التَّمْرُ كَمَا
هُوَ كَأَنَّهُ لَمْ يُمَسَّ )رواه البخارى
(
“Abdulloh
meninggal dunia dan meninggalkan keluarga yang perlu ditanggung dan hutang.
Maka aku meminta kepada para pemilik piutang agar membebaskan sebagian dari
hutangnya namun mereka menolaknya. Lalu aku menemui Nabi saw.
untuk meminta bantuan Beliau untuk meminta keringanan kepada mereka namun
mereka tetap menolaknya. Maka Beliau berkata: Pisahkanlah buah kurma kamu dari
segala sesuatunya dari pohonnya, kurma jenis Ibnu Zaid dari pohonnya, kurma
jenis al-Lain dari pohonnya, serta kurma jenis al-Ajwa’ dari pohonnya kemudian
bawalah kepada mereka hingga aku datang kepadamu. Maka aku kerjakan semua
perintah Beliau itu kemudian Beliau datang lalu duduk dan membayar bagi setiap
piutang hingga lunas dan buah kurmanya masih tersisa sebagaimana semula seolah
belum pernah disentuh sedikitpun. Lalu aku berperang bersama Nabi saw. pada
suatu peperangan dan unta tungganganku telah memperlambat aku hingga akhirnya
unta itu dipukul oleh Nabi dari belakangnya lalu Beliau berkata; Jualloh
kepadaku unta ini dan kamu boleh menungganginya sampai Madinah. Ketika sudah
sampai aku meminta izin dan setelah itu aku katakan kepada Beliau: Wahai Rasululloh,
aku baru saja menikah. Beliau bertanya: Kamu menikah dengan seorang gadis atau
janda? Aku jawab: Dengan janda, karena ‘Abdulloh (bapakku) telah wafat dan
meninggalkan anak-anak yag masih kecil maka aku menikahi seorang janda agar ia
dapat mengajarkan dan mendidik mereka. Kemudian Beliau berkata: Bawalah
keluargamu kepadaku. Maka aku datang dan mengabarkan pamanku tentang penjualan
unta dan perdamaianku (tentang hutang) dan aku kabarkan pula tentang lambannya
untaku dan peristiwa yang terjadi dengan Nabi saw. tentang pemukulan unta
yang dilakukan Beliau. Ketika Nabi saw. datang, aku pagi-pagi
segera menemui Beliau dengan membawa unta maka Beliau memberikan uang
pembayaran unta tersebut serta memberikan unta itu kepadaku sementara sahamku
tetap untuk orang-orang”.
(HR. al-Bukhari)
b.
Salamah
bin Al-Akwa ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ
لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: لاَ،
فَصَلَّى عَلَيْهِ. ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ
مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: نَعَمْ. قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ . قَالَ أَبُو
قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. (رواه
البخاري)
“Bahwasanya,
pernah dihadapkan kepada Nabi saw. seorang
jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya: Apakah dia punya hutang? Mereka menjawab,
Tidak, maka beliau pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah
nan lain, lalu beliau bertanya: Apakah dia punya hutang?, Mereka menjawab: Ya,
maka beliau saw. berkata, Shalatilah teman kalian ini oleh kalian. Abu Qatadah
berkata, Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi hutangnya, maka beliau pun
mau menyalatinya”. [HR. Al-Bukhari]
Dari
hadis di atas dapat disimpulkan bahwa seorang mukmin harus berhati-hati dengan
hutang dan cepat membayar hutangnya sebelum meninggal. Ketika meninggal dan
masih berhutang, dia tetap punya tanggungan hutang tersebut. Ketika punya harta
waris, ahli waris harus mendahulukan melunasi hutang-hutangnya sebelum
membaginya untuk keluarga mayit. Apabila tidak punya harta waris, maka
keluarganya sangat dianjurkan untuk membayar dan melunasi hutangnya. Bila
keluarganya tidak mampu, maka umat Islam lainnya dianjurkan memberi sedekah
dengan membayar hutangnya atau pemilik piutang mengikhlaskannya. Pembayaran
hutang dari keluarga dan saudara sesama Islam ini oleh Nabi saw. dikatakan
bermanfaat untuk orang yang sudah wafat. Kepada
seluruh umat terutama warga muhammadiyah dianjurkan untuk
menfasiltasi atau membantu pelunasannya bisa dengan menjadikan mereka sebagai
gharimin.
Hadis-hadis tersebut memberi pengertian bahwa
seseorang yang telah meninggal dunia akan mendapat faedah dengan terlunasi
utang-utangnya sekalipun bukan dari anaknya. Selain itu, dilunasinya utang
tersebut menyebabkan terhentinya siksaan yang menimpanya. Hal ini merupakan
pengkhususan bagi makna umum redaksi firman Allah swt berikut:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم/39]
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. an-Najm (53): 39)
3.
Membayarkan hutang ibadah mayit, seperti hutang puasa. Dalam hal ini ada sejumlah
hadis:
a.
Dari Aisyah
r.a. bahwa Rasulullah telah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رواه
البخارى (
“Siapa saja
yang meninggal sedang padanya ada kewajiban berpuasa, maka kerabatnya yang menggantikannya”. (HR. Bukhari)
b.
Dari Ibnu
Abbas ra,
أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتِ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ
نَجَّاهَا اللَّهُ أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَنَجَّاهَا اللَّهُ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى
مَاتَتْ فَجَاءَتِ ابْنَتُهَا أَوْ أُخْتُهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- فَأَمَرَهَا أَنْ تَصُومَ عَنْهَا (رواه أبو
داود (
“Ada seorang
wanita yang naik kapal dan bernazar: apabila Allah menyelamatkannya, maka ia
akan melakukan puasa selama sebulan. Allah pun menyelamatkannya dan ia tidak
melakukan puasa tersebut hingga meninggal. Lalu datanglah putrinya atau saudara
perempuan kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah memerintah untuk berpuasa
untuknya”.(HR Abu
Daud)
c.
Hadits
semakna dalam sahih al-Bukhari dan Muslim:
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ
أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ
قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ
يُقْضَى(رواه البخاري و مسلم (
“Sesungguhnya
Ibuku meninggal dan punya tanggungan hutang puasa satu bulan, apakah aku wajib
menunaikan untuknya? Nabi menjawab:Apakah bila ia mempunyai utang engkau
membayarnya? Ia menjawab: Tentu. Beliau bersabda: Oleh karena itu utang kepada
Allah lebih wajib untuk engkau bayar”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari tiga hadis di atas,
jelaslah bahwa walinya (anaknya atau kerabatnya) sangat dianjurkan untuk
menunaikan hutang puasa yang ditinggalkan mayit. Dan ini berarti bahwa pelunasan hutang kepada Allah
yang dilakukan oleh anak dan kerabatnya ini bermanfaat untuk mayit.
4.
Membayarkan nazar ibadah mayit, seperti nazar puasa atau haji, sesuai hadis dari Ibnu
Abbas r.a. bahwa Sa’ad bin Ubadah ra. meminta nasihat kepada Rasulullah:
إِنَّ أُمِّى
مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ . فَقَالَ « اقْضِهِ عَنْهَا (رواه البخارى (
“Ibuku meninggal dan ia pernah bernazar
yang belum dipenuhinya. Beliau menjawab: Tunaikanlah nazar ibumu”. (HR Bukhari)
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى
النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ
، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى
عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا
اللَّهَ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (رواه البخاري)
“Sesungguhnya muslimah dari Juhainah datang kepada
Nabi saw. Seraya berkata: sungguh ibuku bernadzar untuk pergi haji, dan dia
belum sempat mengerjakannya hingga meninggal. Apakah saya boleh menghajikannya?
Nabi menjawab: ya, hajikanlah dia. Bagaimana menurutmu seandainya ibumu
memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya. Karena itu tanakaikanlah hak
Allah, karena hak Allah lebih utama ditunaikan”. (HR. Al-Bukhari)
Hadis yang berkaitan dengan membayar nazar
puasa dan haji sangat banyak. Ia diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i,
at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad dengan redaksi yang sama dan beberapa berbeda. Namun
isi pokoknya bahwa pembayaran nazar dari anak mayit, baik berupa puasa,
shadaqah dan lainnya, itu bermanfaat untuk mayit.
Dalam dua point ini jelaslah bahwa orang
yang meninggal dan memiliki hutang puasa atau nadzar puasa dan haji bisa
ditunaikan oleh walinya, dan yang dimaksud wali di sini adalah keluar dan
kerabatnya. Ini juga berarti bahwa orang lain yang tidak berhubungan
keluarga/bukan kerabatnya tidak bermanfaat amalnya yang demikian itu untuk
mayit.
5.
Apa yang
dilakukan oleh anak saleh berupa kebaikan, seperti menunaikan kewajiban, meninggalkan
kemungkaran, sadaqah dll, maka orang tuanya juga mendapat pahala seperti yang
diperoleh anak tanpa dikurangi sedikit pun. Hal ini karena anak merupakan jerih payah
usaha orang tua. Sebagaimana firman Allah yang
menyatakan yang akan sampai pada seseorang adalah hasil usahanya sendiri: “Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh apa pun selain apa yang telah
diusahakannya.”(an-Najm: 39)
Penjelasan
ini dikuatkan hadis Rasulullah saw.:
إنَّ أَطْيَبَ
مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ (رواه النسائي (
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan seseorang
adalah dari hasil jerih payahnya, dan anak adalah termasuk bagian dari
upayanya”. (HR. an-Nasa’i)[1]
Adapun yang
membenarkan apa yang dikandung ayat dan hadis di atas adalah hadis-hadis
tentang kegunaan amal baik anak yang saleh bagi orangtuanya yang telah
meninggal, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak, dan semisalnya, di
antaranya adalah hadis berikut.
a.
Dari Aisyah
ra. bahwa ada seorang laki-laki mengatakan:
إِنَّ أُمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا ، وَأَظُنُّهَا لَوْ
تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ «
نَعَمْ » (رواه البخارى (
“Ibuku telah
meninggal mendadak (tanpa berwasiat sebelumnya), aku mengira bila dia sempat
berbicara sebelum meninggalnya, pastilah ia akan bersedekah. Apakah ia akan
memperoleh pahala bila aku bersedekah atas namanya (dan pahala pula untukku)?
Beliau menjawab: Benar. (Lalu orang itu pun
bersedekah atas nama ibunya. penerjemah). (HR. al-Bukhari)
b.
Dari Ibnu
Abbas ra. bahwa ibu dari Sa’ad bin Ubadah meninggal sedangkan ia tidak menghadirinya,
dan ia bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا
غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ «
نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
(رواه البخارى (
“Wahai
Rasulullah, ibuku telah wafat sedangkan aku tidak hadir pada saat kematiannya,
apakah berguna baginya sedekah atas namanya?” Beliau menjawab: Ya tentu. Ia
berkata: Aku persaksikan di di hadapan engkau bahwa buah dari hasil kebun yang
dikelilingi tembok itu akan aku sedekahkan atas namanya”. (HR. al-Bukhari)
c.
Abu Hurairah
ra. berkata:
إِنَّ أَبِى مَاتَ وَتَرَكَ
مَالاً وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ
نَعَمْ (رواه مسلم (
“Ada seorang
laki-lai mengatakan kepada Rasulullah: Ibuku telah
meninggal dan meninggalkan harta tetapi tidak berwasiat, lalu apakah bila aku
bersedekah atas namanya dapat mengganti kedudukannya? Beliau menjawab: Ya
dapat”. (HR. Muslim)
d.
Abdullah
Ibnu Amr ra. berkata:
أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ
أَوْصَى أَنْ يُعْتَقَ عَنْهُ مِائَةُ رَقَبَةٍ فَأَعْتَقَ ابْنُهُ هِشَامٌ
خَمْسِينَ رَقَبَةً فَأَرَادَ ابْنُهُ عَمْرٌو أَنْ يَعْتِقَ عَنْهُ الْخَمْسِينَ
الْبَاقِيَةَ فَقَالَ حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَى
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى أَوْصَى
بِعِتْقِ مِائَةِ رَقَبَةٍ وَإِنَّ هِشَامًا أَعْتَقَ عَنْهُ خَمْسِينَ وَبَقِيَتْ
عَلَيْهِ خَمْسُونَ رَقَبَةً أَفَأُعْتِقُ عَنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « إِنَّهُ لَوْ كَانَ مُسْلِمًا فَأَعْتَقْتُمْ عَنْهُ أَوْ
تَصَدَّقْتُمْ عَنْهُ أَوْ حَجَجْتُمْ عَنْهُ بَلَغَهُ ذَلِكَ )رواه أبو داود (
“Bahwasanya al-Ash bin Wail telah berwasiat sebelum kematiannya untuk memerdekakan
seratus orang budak, lalu putranya yang bernama Hisyam memerdekakan lima puluh
orang budak, kemudian putranya yang lain bernama Amr ingin memerdekakan lima
puluh budak sisanya, lalu ia berkata: Aku
bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, ayahku
mewasiatkan agar memerdekakan lima puluh, apakah aku mesti memerdekakan lima
puluh sisanya? Rasulullah menjawab: Sesungguhnya bila ada seorang muslim, lalu
kalian memerdekakan budak atau bersedekah atas namanya atau menghajikan
untuknya maka akan sampailah pahala kepadanya”.[2] (HR Abu Daud, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, bahwa
melunasi hutang mayit bisa dilakukan oleh siapa saja dan amal itu bermanfaat
untuk mayit, namun bersedekah hanya bermanfaat bagi mayit bila dilakukan oleh
anaknya. Ada perbedaan antara menanggung pelunasan utang mayit dengan
bersedekah untuk mayit. Melunasi utang mayit lebih punya makna lebih khusus dan
bisa dilakukan oleh siapa saja berdasarkan banyak dalil, berbeda dengan
bersedekah untuk mayit yang hanya berfaedah ketika dilakukan oleh anak-anaknya.
Hal demikian dikarenakan anak adalah bagian dari jerih payah kedua orangtuanya,
seperti yang ditegaskan dalam nas. Jadi, mengqiyaskan perbuatan orang lain yang
dinisbatkan kepada mayit tidaklah
tepat. Itu adalah qiyasun ma’al fariqi (pengqiyasan yang berbeda atau
berlawanan) seperti tampak dengan jelas. Begitu juga tidak dibenarkan bila
mengqiyaskan sedekah dengan pelunasan utang, dikarenakan sedekah adalah umum
sedangkan pelunasan utang adalah khusus.
Pemahaman
tersebut menunjukkan pemahaman yang benar sesuai dengan target kaidah-kaidah ilmiah, dalam hal ini ayat atau firman-Nya itu
bermakna umum dan amal baik atau sedekah seorang anak akan sampai pahalanya
kepada orang tuanya karena anak merupakan salah satu dari usahanya. Namun tidak
demikian halnya amalan selain anak, yakni orang lain.
Kemudian,
sekelompok ulama lain berpendapat dengan mengqiyaskan muslimin pada umumnya
dengan orangtua. Qiyas tersebut rusak dengan alasan sebagai berikut:
a.
Qiyas tersebut menyalahi makna umum firman-Nya dalam surat an-Najam
ayat 39 dan juga firman-Nya, “Dan
barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk
kebaikan dirinya sendiri…”. (Faathir: 18). Dan
ayat-ayat lain yang menyandarkan seorang ayah yang menyucikan dirinya salah
satunya adalah dengan membaikan pendidikan anaknya. Karena itu pahala amal baik
anaknya akan sampai kepadanya. Tetapi tidak demikian dengan orang lain.
b.
Pengqiyasan
di sini sangat berbeda dan tidak tepat, disebabkan syariat telah menetapkan
bahwa anak merupakan salah satu dari jerih payah usaha orangtua. Sebab Allah swt. telah berfirman, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab
atas apa yang telah diperbuatnya.” (al-Muddatsir: 38) dan
firman-Nya, “…Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya… (al-Baqarah:
286)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menguraikan makna
firman-Nya, “wa anna laisa lil insaani illa maa sa’aa” seraya
mengatakan, “Yakni sebagaimana seseorang tidak memikul beban dosa orang lain,
begitu juga seseorang tidak menikmati pahala amal saleh orang lain, kecuali
dari amalannya sendiri. Dari pemahaman makna ayat inilah Imam Syafi’i mengambil
kesimpulan hukum bahwa bacaan-bacaan Al-Quran yang dibaca seseorang tidak akan
sampai pahalanya kepada sang mayat disebabkan hal itu bukan termasuk jerih
payahnya. Oleh karena itu, Rasulullah tidak menyunnahkan yang demikian bagi
umatnya dan tidak pula memberi dorongan kepada umatnya untuk melakukannya, baik
dengan amalan maupun dengan nas. Dan tidak pula ada riwayat satu pun dari
sahabat melakukan demikian.
Kalau saja amalan membaca Al-Quran pahalanya dapat
dihadiahkan bagi mayit dan sampai kepadanya, pastilah mereka (para sahabat)
akan lebih dahulu melakukannya ketimbang kita. Barangkali masyhur di kalangan
muslimin bahwa masalah-masalah takarub
dengan peribadatan terbatas pada nas-nas yang ada dan tidak bisa dialihkan
dengan menggunakan qiyas atau pendapat.
Kalau saja pengqiyasan seperti ini benar, maka
merupakan hal yang dianjurkan
atau disenangi (istihhab) untuk menghadiahkan
pahala kepada mayit. Kalau benar demikian maka pastiah para sahabat akan
melakukannya dan umumnya Salafus-Saleh disebabkan mereka merupakan generasi
yang paling tanggap terhadap amalan yang menghasilkan pahala. Namun karena
tidak ada seorang pun yang melakukannya seperti dinyatakan Ibnu Katsir tadi,
maka menunjukkan bahwa qiyas tersebut batil. Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyaraat
al-‘Ilmiyah (hlm. 54) menyatakan, “Bukanlah dari kebiasaan kaum salaf apabila
melakukan salat yang bersifat tathawu’ (sunnah), puasa sunnah, haji sunnah,
atau membaca Al-Quran lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang
yang sudah meninggal dari kalangan muslimin. Oleh karena itu, tidaklah wajar
kita menyimpang dari jalan kaum salaf disebabkan mereka itu adalah generasi
yang lebih utama dan lebih sempurna”.
Memang Ibnu
Taimiyah mempunyai pendapat yang berlawanan dengan pendapat tersebut, yaitu mayit dapat
memanfaatkan pahala ibadah orang lain. Pendapat seperti itu dibantu dan
diperkuat oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab ar-Ruh yang sempurna dibangun atas
dasar pengqiyasan yang tidak benar seperti telah diuraikan. Yang demikian
merupakan kebiasaan yang bertentangan dengan yang mahsyur dari beliau yang
tidak mau atau tidak pernah mau memperluas pengqiyasan dalam masalah-masalah ta’abbudiyah mahdhah, terlebih bila masalahnya
menyalahi kebiasaan Salafus-Saleh. Pendapat Ibnu Taimiyah yang dikuatkan oleh
muridnya (yakni Ibnul Qayyim) dalam masalah ini telah disimpulkan oleh Muhammad
Rasyid Ridha di dalam tafsir al-Manar (VIII/254-270) dan disanggahnya dengan
kuat lagi ilmiah.
6.
Apa yang
ditinggalkan sang mayit berupa kebaikan dari sedekah atau amal jariyah, termasuk ilmu yang selama ini diajarkannya kepada orang lain. Berdasarkan firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا
قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ [يس/12]
“Sesungguhnya
Kami menghidupkan yang mati dan menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan
bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dan semua itu kami hitung dalam hitungan
yang jelas”. (Yasin: 12)
Dan banyak hadis Rasulullah di antaranya adalah
sebagai berikut ini.
a.
Dari Abu Hurairah
ra. bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا مَاتَ
الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
(رواه مسلم)
“Apabila
seseorang meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga (hal):
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
b.
Abu Qatadah
ra. berkata, Rasulullah bersabda;
خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلاَثٌ
وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ وَصَدَقَةٌ تَجْرِى يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا وَعِلْمٌ
يُعْمَلُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ (رواه ابن ماجه (
“Sebaik-baik
yang ditinggalkan seseorang sepeninggalnya adalah tiga: anak yang saleh yang
mendoakannya, sedekah yang sampai pahalanya kepadanya, dan ilmu yang
bermanfaat”. (HR. Ibnu Majah)
e.
Abu Hurairah
ra. berkata, Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ
وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا
تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ
السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ
مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ (رواه ابن ماجه (
“Sesungguhnya
dari hal yang sampai kepada seorang mukmin sepeninggalnya, dari hasil amalan
dan kebaikannya: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak yang saleh yang
ditinggalkannya, Al-Quran yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, sungai
yang dialirkannya atau sedekah yang dibelanjakannya dari hartanya semasa
hidupnya, akan sampai kepadanya sepeninggalnya”. (HR. Ibnu Majah)
[1]Al-Hakim berkata, “Riwayat ini sahih sanadnya sesuai
persyaratan Syaikhain.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Pernyataan ini salah
dilihat dari berbagai sudut, tetapi bukan di sini tempatnya untuk
menjelaskannya.Riwayat tersebut mempunyai saksi penguat dari hadis Abdullah bin
Amr r.a. yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad
hasan.
[2] Asy-Syaukani
mengatakan di dalam Nailul-Authar (IV/89),
“Hadi-hadis dalam bab ini menunjukkan bahwa pahala sedekah yang dilakukan oleh
seorang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orangtuanya sepeninggal
keduanya sekalipun tanpa wasiat darinya. Dengan demikian, hadis-hadis dalam bab
ini mengkhususkan pemahaman umum makna firman Allah, “Dan bahwa seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm: 39). Namun, di dalam hadis-hadis tersebut hanya
menjelaskan akan sampainya pahala sedekah anak kepada orang tuanya.
Sebab, telah terbukti ketetapannya bahwa anak itu merupakan salah satu dari
hasil upaya seseorang. Oleh karena itu, tidak perlu untuk mendakwa bahwa ayat
tersebut dikhususkan maknanya oleh hadis-hadis tersebut. Adapun mengenai selain
anak, maka tampaknya ayat tersebut tetap pada kondisi keumumannya, maksudnya
pahala yang diperoleh dari amalan-amalan seseorang tidaklah sampai pahalanya
kepada orang yang sudah meninggal. Maka kita harus berhenti memahaminya sampai
sebatas itu sehingga terbukti ada kesahihannya dari nas atau riwayat yang
mengkhususkannya”.
*)disampaikan pada kajian rutin ahad wage prm imogiri di musholla Asiyah Kerten 06/12/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar