Jumat, 11 Desember 2015

Seri Kajian Ahad Wage

APAKAH ADA  AMAL YANG BERMANFAAT BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL ?

 Pengantar
Polemik mengenai ada tidaknya amal yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal senantiasa menarik untuk ditelaah. Berdasarkan sebuah hadist, dikatakan bahwa ketika seseorang meninggal maka telah terputus semua amalnya kecuali tiga perkara. Dan ini sering ditafsiri tidak adanya amalan yang bisa dilakukan oleh yang orang masih hidup yang akan sampai kepada si mayit.Apalagi bila orang tersebut tak memiliki kaitan nasab.  Benarkah demikian ?
Dialog yang terjadi dalam majelis ilmu "Sinau Bareng" Cak Nun berikut sangat layak untuk dikaji. Mohon dimaafkan kalau ada yang kurang berkenan dengan pemuatan video ini.
Dan berikut ini adalah materi kajian mengenai amalan yang bermanfaat bagi si mayit oleh ustadz. H. Aris Samsugito, S.Ag pada Kajian Rutin Ahad Wage , Desember 2015

AMALAN YANG BERMANFAAT BAGI SI MAYIT
Apabila anak Adam meninggal maka akan terputuslah semua amalnya kecuali 3 perkara.
Hal ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah ra.:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ  (رواه مسلم)
“Apabila manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

Namun demikian, orang yang sudah meninggal masih bisa memanfaatkan amalan orang yang masih hidup, di antaranya:
1.      Doa seluruh umat Islam untuknya, berdasarkan firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ [الحشر/10]
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hasyr (59) : 10)

Dalam ayat ini ditegaskan oleh Allah bahwa umat Islam yang datang belakangan mendoakan saudaranya yang telah mendahuluinya dari Muhajirin dan Anshar. Ini artinya doa orang yang masih hidup bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal.
Hal tersebut dikuatkan oleh hadis-hadis Rasulullah saw. yang berkenaan dengan masalah ini, di antaranya sabda beliau diriwayatkan Abu Darda’ ra.:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ (رواه مسلم (
Doa seorang muslim kepada saudaranya dari kejauhan (tidak berhadapan) adalah mustajab, di atas kepalanya ada malaikat yang mewakili, setiap mendoakannya dengan kebaikan, berkatalah malaikat yang mewakili itu, ‘Semoga doa itu dikabulkan dan bagimu yang semisalnya”. (HR. Muslim)

Sebenarnya, shalat jenazah juga sudah cukup sebagai bukti mengenai manfaat doa orang yang hidup bagi orang yang sudah wafat, karena dalam pelaksanaannya sebagian besar berisikan doa bagi mayit dan permohonan ampunan untuknya.


2.      Melunasi hutang-hutang mayit. Ini bisa dilakukan oleh orang yang dihutangi maupun orang lain, baik kerabat mayit maupun bukan. Mengenai hal ini banyak sekali hadis yang diriwayatkan secara sahih sebagaimana berikut ini:
a.       Hadis yang dikisahkan Jabir ra.:
أُصِيبَ عَبْدُ اللَّهِ وَتَرَكَ عِيَالاً وَدَيْنًا ، فَطَلَبْتُ إِلَى أَصْحَابِ الدَّيْنِ أَنْ يَضَعُوا بَعْضًا مِنْ دَيْنِهِ فَأَبَوْا ، فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَاسْتَشْفَعْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا ، فَقَالَ « صَنِّفْ تَمْرَكَ كُلَّ شَىْءٍ مِنْهُ عَلَى حِدَتِهِ ، عِذْقَ ابْنِ زَيْدٍ عَلَى حِدَةٍ ، وَاللِّينَ عَلَى حِدَةٍ ، وَالْعَجْوَةَ عَلَى حِدَةٍ ، ثُمَّ أَحْضِرْهُمْ حَتَّى آتِيَكَ » . فَفَعَلْتُ ، ثُمَّ جَاءَ - صلى الله عليه وسلم - فَقَعَدَ عَلَيْهِ ، وَكَالَ لِكُلِّ رَجُلٍ حَتَّى اسْتَوْفَى ، وَبَقِىَ التَّمْرُ كَمَا هُوَ كَأَنَّهُ لَمْ يُمَسَّ )رواه البخارى (
Abdulloh meninggal dunia dan meninggalkan keluarga yang perlu ditanggung dan hutang. Maka aku meminta kepada para pemilik piutang agar membebaskan sebagian dari hutangnya namun mereka menolaknya. Lalu aku menemui Nabi saw. untuk meminta bantuan Beliau untuk meminta keringanan kepada mereka namun mereka tetap menolaknya. Maka Beliau berkata: Pisahkanlah buah kurma kamu dari segala sesuatunya dari pohonnya, kurma jenis Ibnu Zaid dari pohonnya, kurma jenis al-Lain dari pohonnya, serta kurma jenis al-Ajwa’ dari pohonnya kemudian bawalah kepada mereka hingga aku datang kepadamu. Maka aku kerjakan semua perintah Beliau itu kemudian Beliau datang lalu duduk dan membayar bagi setiap piutang hingga lunas dan buah kurmanya masih tersisa sebagaimana semula seolah belum pernah disentuh sedikitpun. Lalu aku berperang bersama Nabi saw. pada suatu peperangan dan unta tungganganku telah memperlambat aku hingga akhirnya unta itu dipukul oleh Nabi dari belakangnya lalu Beliau berkata; Jualloh kepadaku unta ini dan kamu boleh menungganginya sampai Madinah. Ketika sudah sampai aku meminta izin dan setelah itu aku katakan kepada Beliau: Wahai Rasululloh, aku baru saja menikah. Beliau bertanya: Kamu menikah dengan seorang gadis atau janda? Aku jawab: Dengan janda, karena ‘Abdulloh (bapakku) telah wafat dan meninggalkan anak-anak yag masih kecil maka aku menikahi seorang janda agar ia dapat mengajarkan dan mendidik mereka. Kemudian Beliau berkata: Bawalah keluargamu kepadaku. Maka aku datang dan mengabarkan pamanku tentang penjualan unta dan perdamaianku (tentang hutang) dan aku kabarkan pula tentang lambannya untaku dan peristiwa yang terjadi dengan Nabi saw. tentang pemukulan unta yang dilakukan Beliau. Ketika Nabi saw. datang, aku pagi-pagi segera menemui Beliau dengan membawa unta maka Beliau memberikan uang pembayaran unta tersebut serta memberikan unta itu kepadaku sementara sahamku tetap untuk orang-orang”. (HR. al-Bukhari)

b.      Salamah bin Al-Akwa ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: نَعَمْ. قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ . قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
“Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi saw. seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya: Apakah dia punya hutang? Mereka menjawab, Tidak, maka beliau pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah nan lain, lalu beliau bertanya: Apakah dia punya hutang?, Mereka menjawab: Ya, maka beliau saw. berkata, Shalatilah teman kalian ini oleh kalian. Abu Qatadah berkata, Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi hutangnya, maka beliau pun mau menyalatinya”. [HR. Al-Bukhari]

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa seorang mukmin harus berhati-hati dengan hutang dan cepat membayar hutangnya sebelum meninggal. Ketika meninggal dan masih berhutang, dia tetap punya tanggungan hutang tersebut. Ketika punya harta waris, ahli waris harus mendahulukan melunasi hutang-hutangnya sebelum membaginya untuk keluarga mayit. Apabila tidak punya harta waris, maka keluarganya sangat dianjurkan untuk membayar dan melunasi hutangnya. Bila keluarganya tidak mampu, maka umat Islam lainnya dianjurkan memberi sedekah dengan membayar hutangnya atau pemilik piutang mengikhlaskannya. Pembayaran hutang dari keluarga dan saudara sesama Islam ini oleh Nabi saw. dikatakan bermanfaat untuk orang yang sudah wafat. Kepada seluruh umat terutama warga muhammadiyah dianjurkan untuk menfasiltasi atau membantu pelunasannya bisa dengan menjadikan mereka sebagai gharimin.
Hadis-hadis tersebut memberi pengertian bahwa seseorang yang telah meninggal dunia akan mendapat faedah dengan terlunasi utang-utangnya sekalipun bukan dari anaknya. Selain itu, dilunasinya utang tersebut menyebabkan terhentinya siksaan yang menimpanya. Hal ini merupakan pengkhususan bagi makna umum redaksi firman Allah swt berikut:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم/39]
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. an-Najm (53): 39)

3.      Membayarkan hutang ibadah mayit, seperti hutang puasa. Dalam hal ini ada sejumlah hadis:
a.       Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah telah bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رواه البخارى (
“Siapa saja yang meninggal sedang padanya ada kewajiban berpuasa, maka kerabatnya yang menggantikannya”(HR. Bukhari)

b.      Dari Ibnu Abbas ra,
أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتِ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَنَجَّاهَا اللَّهُ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتِ ابْنَتُهَا أَوْ أُخْتُهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَمَرَهَا أَنْ تَصُومَ عَنْهَا (رواه أبو داود (
“Ada seorang wanita yang naik kapal dan bernazar: apabila Allah menyelamatkannya, maka ia akan melakukan puasa selama sebulan. Allah pun menyelamatkannya dan ia tidak melakukan puasa tersebut hingga meninggal. Lalu datanglah putrinya atau saudara perempuan kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah memerintah untuk berpuasa untuknya”.(HR Abu Daud)

c.       Hadits semakna dalam sahih al-Bukhari dan Muslim:
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى(رواه البخاري و مسلم (
“Sesungguhnya Ibuku meninggal dan punya tanggungan hutang puasa satu bulan, apakah aku wajib menunaikan untuknya? Nabi menjawab:Apakah bila ia mempunyai utang engkau membayarnya? Ia menjawab: Tentu. Beliau bersabda: Oleh karena itu utang kepada Allah lebih wajib untuk engkau bayar”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari tiga hadis di atas, jelaslah bahwa walinya (anaknya atau kerabatnya) sangat dianjurkan untuk menunaikan hutang puasa yang ditinggalkan mayit. Dan ini berarti bahwa pelunasan hutang kepada Allah yang dilakukan oleh anak dan kerabatnya ini bermanfaat untuk mayit.
4.      Membayarkan nazar ibadah mayit, seperti nazar puasa atau haji, sesuai hadis dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Sa’ad bin Ubadah ra. meminta nasihat kepada Rasulullah:
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ . فَقَالَ « اقْضِهِ عَنْهَا (رواه البخارى (
Ibuku meninggal dan ia pernah bernazar yang belum dipenuhinya. Beliau menjawab: Tunaikanlah nazar ibumu”(HR Bukhari)

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (رواه البخاري)
“Sesungguhnya muslimah dari Juhainah datang kepada Nabi saw. Seraya berkata: sungguh ibuku bernadzar untuk pergi haji, dan dia belum sempat mengerjakannya hingga meninggal. Apakah saya boleh menghajikannya? Nabi menjawab: ya, hajikanlah dia. Bagaimana menurutmu seandainya ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya. Karena itu tanakaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama ditunaikan”. (HR. Al-Bukhari)

Hadis yang berkaitan dengan membayar nazar puasa dan haji sangat banyak. Ia diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad dengan redaksi yang sama dan beberapa berbeda. Namun isi pokoknya bahwa pembayaran nazar dari anak mayit, baik berupa puasa, shadaqah dan lainnya, itu bermanfaat untuk mayit.
Dalam dua point ini jelaslah bahwa orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa atau nadzar puasa dan haji bisa ditunaikan oleh walinya, dan yang dimaksud wali di sini adalah keluar dan kerabatnya. Ini juga berarti bahwa orang lain yang tidak berhubungan keluarga/bukan kerabatnya tidak bermanfaat amalnya yang demikian itu untuk mayit.
5.      Apa yang dilakukan oleh anak saleh berupa kebaikan,  seperti menunaikan kewajiban, meninggalkan kemungkaran, sadaqah dll, maka orang tuanya juga mendapat pahala seperti yang diperoleh anak tanpa dikurangi sedikit pun. Hal ini karena anak merupakan jerih payah usaha orang tua. Sebagaimana firman Allah yang menyatakan yang akan sampai pada seseorang adalah hasil usahanya sendiri: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh apa pun selain apa yang telah diusahakannya.”(an-Najm: 39)
Penjelasan ini dikuatkan hadis Rasulullah saw.:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ (رواه النسائي (
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan seseorang adalah dari hasil jerih payahnya, dan anak adalah termasuk bagian dari upayanya”. (HR. an-Nasa’i)[1]

Adapun yang membenarkan apa yang dikandung ayat dan hadis di atas adalah hadis-hadis tentang kegunaan amal baik anak yang saleh bagi orangtuanya yang telah meninggal, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak, dan semisalnya, di antaranya adalah hadis berikut.
a.       Dari Aisyah ra. bahwa ada seorang laki-laki mengatakan:
إِنَّ أُمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » (رواه البخارى (
“Ibuku telah meninggal mendadak (tanpa berwasiat sebelumnya), aku mengira bila dia sempat berbicara sebelum meninggalnya, pastilah ia akan bersedekah. Apakah ia akan memperoleh pahala bila aku bersedekah atas namanya (dan pahala pula untukku)? Beliau menjawab: Benar. (Lalu orang itu pun bersedekah atas nama ibunya. penerjemah). (HR. al-Bukhari)

b.      Dari Ibnu Abbas ra. bahwa ibu dari Sa’ad bin Ubadah meninggal sedangkan ia tidak menghadirinya, dan ia bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا (رواه البخارى (
“Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat sedangkan aku tidak hadir pada saat kematiannya, apakah berguna baginya sedekah atas namanya?” Beliau menjawab: Ya tentu. Ia berkata: Aku persaksikan di di hadapan engkau bahwa buah dari hasil kebun yang dikelilingi tembok itu akan aku sedekahkan atas namanya”. (HR. al-Bukhari)

c.       Abu Hurairah ra. berkata:
إِنَّ أَبِى مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم (
“Ada seorang laki-lai mengatakan kepada Rasulullah: Ibuku telah meninggal dan meninggalkan harta tetapi tidak berwasiat, lalu apakah bila aku bersedekah atas namanya dapat mengganti kedudukannya? Beliau menjawab: Ya dapat”. (HR. Muslim)

d.      Abdullah Ibnu Amr ra. berkata:
أَنَّ الْعَاصَ بْنَ وَائِلٍ أَوْصَى أَنْ يُعْتَقَ عَنْهُ مِائَةُ رَقَبَةٍ فَأَعْتَقَ ابْنُهُ هِشَامٌ خَمْسِينَ رَقَبَةً فَأَرَادَ ابْنُهُ عَمْرٌو أَنْ يَعْتِقَ عَنْهُ الْخَمْسِينَ الْبَاقِيَةَ فَقَالَ حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى أَوْصَى بِعِتْقِ مِائَةِ رَقَبَةٍ وَإِنَّ هِشَامًا أَعْتَقَ عَنْهُ خَمْسِينَ وَبَقِيَتْ عَلَيْهِ خَمْسُونَ رَقَبَةً أَفَأُعْتِقُ عَنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهُ لَوْ كَانَ مُسْلِمًا فَأَعْتَقْتُمْ عَنْهُ أَوْ تَصَدَّقْتُمْ عَنْهُ أَوْ حَجَجْتُمْ عَنْهُ بَلَغَهُ ذَلِكَ )رواه أبو داود (
Bahwasanya al-Ash bin Wail telah berwasiat sebelum kematiannya untuk memerdekakan seratus orang budak, lalu putranya yang bernama Hisyam memerdekakan lima puluh orang budak, kemudian putranya yang lain bernama Amr ingin memerdekakan lima puluh budak sisanya, lalu ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, ayahku mewasiatkan agar memerdekakan lima puluh, apakah aku mesti memerdekakan lima puluh sisanya? Rasulullah menjawab: Sesungguhnya bila ada seorang muslim, lalu kalian memerdekakan budak atau bersedekah atas namanya atau menghajikan untuknya maka akan sampailah pahala kepadanya”.[2] (HR Abu Daud, al-Baihaqi, dan Ahmad)

Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, bahwa melunasi hutang mayit bisa dilakukan oleh siapa saja dan amal itu bermanfaat untuk mayit, namun bersedekah hanya bermanfaat bagi mayit bila dilakukan oleh anaknya. Ada perbedaan antara menanggung pelunasan utang mayit dengan bersedekah untuk mayit. Melunasi utang mayit lebih punya makna lebih khusus dan bisa dilakukan oleh siapa saja berdasarkan banyak dalil, berbeda dengan bersedekah untuk mayit yang hanya berfaedah ketika dilakukan oleh anak-anaknya. Hal demikian dikarenakan anak adalah bagian dari jerih payah kedua orangtuanya, seperti yang ditegaskan dalam nas. Jadi, mengqiyaskan perbuatan orang lain yang dinisbatkan kepada mayit tidaklah tepat. Itu adalah qiyasun ma’al fariqi (pengqiyasan yang berbeda atau berlawanan) seperti tampak dengan jelas. Begitu juga tidak dibenarkan bila mengqiyaskan sedekah dengan pelunasan utang, dikarenakan sedekah adalah umum sedangkan pelunasan utang adalah khusus.
Pemahaman tersebut menunjukkan pemahaman yang benar sesuai dengan target kaidah-kaidah ilmiah, dalam hal ini ayat atau firman-Nya itu bermakna umum dan amal baik atau sedekah seorang anak akan sampai pahalanya kepada orang tuanya karena anak merupakan salah satu dari usahanya. Namun tidak demikian halnya amalan selain anak, yakni orang lain.
Kemudian, sekelompok ulama lain berpendapat dengan mengqiyaskan muslimin pada umumnya dengan orangtua. Qiyas tersebut rusak dengan alasan sebagai berikut:
a.       Qiyas tersebut menyalahi makna umum firman-Nya dalam surat an-Najam ayat 39 dan juga firman-Nya, Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri…”. (Faathir: 18). Dan ayat-ayat lain yang menyandarkan seorang ayah yang menyucikan dirinya salah satunya adalah dengan membaikan pendidikan anaknya. Karena itu pahala amal baik anaknya akan sampai kepadanya. Tetapi tidak demikian dengan orang lain.
b.      Pengqiyasan di sini sangat berbeda dan tidak tepat, disebabkan syariat telah menetapkan bahwa anak merupakan salah satu dari jerih payah usaha orangtua. Sebab Allah swt. telah berfirman, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (al-Muddatsir: 38) dan firman-Nya, “…Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya… (al-Baqarah: 286)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menguraikan makna firman-Nya, “wa anna laisa lil insaani illa maa sa’aa” seraya mengatakan, “Yakni sebagaimana seseorang tidak memikul beban dosa orang lain, begitu juga seseorang tidak menikmati pahala amal saleh orang lain, kecuali dari amalannya sendiri. Dari pemahaman makna ayat inilah Imam Syafi’i mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan-bacaan Al-Quran yang dibaca seseorang tidak akan sampai pahalanya kepada sang mayat disebabkan hal itu bukan termasuk jerih payahnya. Oleh karena itu, Rasulullah tidak menyunnahkan yang demikian bagi umatnya dan tidak pula memberi dorongan kepada umatnya untuk melakukannya, baik dengan amalan maupun dengan nas. Dan tidak pula ada riwayat satu pun dari sahabat melakukan demikian.
Kalau saja amalan membaca Al-Quran pahalanya dapat dihadiahkan bagi mayit dan sampai kepadanya, pastilah mereka (para sahabat) akan lebih dahulu melakukannya ketimbang kita. Barangkali masyhur di kalangan muslimin  bahwa masalah-masalah takarub dengan peribadatan terbatas pada nas-nas yang ada dan tidak bisa dialihkan dengan menggunakan qiyas atau pendapat.
Kalau saja pengqiyasan seperti ini benar, maka merupakan hal yang dianjurkan atau disenangi (istihhab) untuk menghadiahkan pahala kepada mayit. Kalau benar demikian maka pastiah para sahabat akan melakukannya dan umumnya Salafus-Saleh disebabkan mereka merupakan generasi yang paling tanggap terhadap amalan yang menghasilkan pahala. Namun karena tidak ada seorang pun yang melakukannya seperti dinyatakan Ibnu Katsir tadi, maka menunjukkan bahwa qiyas tersebut batil. Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyaraat al-‘Ilmiyah (hlm. 54) menyatakan, “Bukanlah dari kebiasaan kaum salaf apabila melakukan salat yang bersifat tathawu’ (sunnah), puasa sunnah, haji sunnah, atau membaca Al-Quran lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang sudah meninggal dari kalangan muslimin. Oleh karena itu, tidaklah wajar kita menyimpang dari jalan kaum salaf disebabkan mereka itu adalah generasi yang lebih utama dan lebih sempurna”.
Memang Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat yang berlawanan dengan pendapat tersebut, yaitu mayit dapat memanfaatkan pahala ibadah orang lain. Pendapat seperti itu dibantu dan diperkuat oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab ar-Ruh yang sempurna dibangun atas dasar pengqiyasan yang tidak benar seperti telah diuraikan. Yang demikian merupakan kebiasaan yang bertentangan dengan yang mahsyur dari beliau yang tidak mau atau tidak pernah mau memperluas pengqiyasan dalam masalah-masalah ta’abbudiyah mahdhah, terlebih bila masalahnya menyalahi kebiasaan Salafus-Saleh. Pendapat Ibnu Taimiyah yang dikuatkan oleh muridnya (yakni Ibnul Qayyim) dalam masalah ini telah disimpulkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di dalam tafsir al-Manar (VIII/254-270) dan disanggahnya dengan kuat lagi ilmiah.
6.      Apa yang ditinggalkan sang mayit berupa kebaikan dari sedekah atau amal jariyah, termasuk ilmu yang selama ini diajarkannya kepada orang lain. Berdasarkan firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ [يس/12]
“Sesungguhnya Kami menghidupkan yang mati dan menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dan semua itu kami hitung dalam hitungan yang jelas”. (Yasin: 12)

Dan banyak hadis Rasulullah di antaranya adalah sebagai berikut ini.
a.       Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ  (رواه مسلم)
“Apabila seseorang meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga (hal): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

b.      Abu Qatadah ra. berkata, Rasulullah bersabda;
خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلاَثٌ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ وَصَدَقَةٌ تَجْرِى يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا وَعِلْمٌ يُعْمَلُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ (رواه ابن ماجه (
“Sebaik-baik yang ditinggalkan seseorang sepeninggalnya adalah tiga: anak yang saleh yang mendoakannya, sedekah yang sampai pahalanya kepadanya, dan ilmu yang bermanfaat”. (HR. Ibnu Majah)

e.       Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ (رواه ابن ماجه (
“Sesungguhnya dari hal yang sampai kepada seorang mukmin sepeninggalnya, dari hasil amalan dan kebaikannya: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak yang saleh yang ditinggalkannya, Al-Quran yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya atau sedekah yang dibelanjakannya dari hartanya semasa hidupnya, akan sampai kepadanya sepeninggalnya”. (HR. Ibnu Majah)




[1]Al-Hakim berkata, “Riwayat ini sahih sanadnya sesuai persyaratan Syaikhain.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Pernyataan ini salah dilihat dari berbagai sudut, tetapi bukan di sini tempatnya untuk menjelaskannya.Riwayat tersebut mempunyai saksi penguat dari hadis Abdullah bin Amr r.a. yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad hasan.

[2] Asy-Syaukani mengatakan di dalam Nailul-Authar (IV/89), “Hadi-hadis dalam bab ini menunjukkan bahwa pahala sedekah yang dilakukan oleh seorang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orangtuanya sepeninggal keduanya sekalipun tanpa wasiat darinya. Dengan demikian, hadis-hadis dalam bab ini mengkhususkan pemahaman umum makna firman Allah, “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm: 39). Namun, di dalam hadis-hadis tersebut hanya menjelaskan akan sampainya pahala sedekah anak kepada orang tuanya. Sebab, telah terbukti ketetapannya bahwa anak itu merupakan salah satu dari hasil upaya seseorang. Oleh karena itu, tidak perlu untuk mendakwa bahwa ayat tersebut dikhususkan maknanya oleh hadis-hadis tersebut. Adapun mengenai selain anak, maka tampaknya ayat tersebut tetap pada kondisi keumumannya, maksudnya pahala yang diperoleh dari amalan-amalan seseorang tidaklah sampai pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Maka kita harus berhenti memahaminya sampai sebatas itu sehingga terbukti ada kesahihannya dari nas atau riwayat yang mengkhususkannya”.


*)disampaikan pada kajian rutin ahad wage prm imogiri  di musholla Asiyah Kerten 06/12/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar